Wednesday, June 1, 2016

Perkembangan Tasyrik pada masa ad-Daulah Bani Umayyah

                                                  
                

                                                      Kondisi Politik Secara Global

            Pemerintah bani Umayyah merupakan pengambil alihan oleh mu’awiyah bin sufyan dari tangan abi thalih melalui pergumulan politik yang panjang diantara

            mereka. Perkumpulan politik yang panjang diantara ali bin abi thalib menjadi dua kelompok, yaitu: Syi’ah dan khawarij, namun akhirnya kursi ke kholifaan berhasil dipegang oleh mu’awiyah bin Abi Sufyan.

            Pergolakan politi yang terjadi pada masa awal pemerintahan Dawlah Abbasiyah telah telah melahirkan agitasi telogis dan membawa pengaruh besar terhadap perkembangan fiqh dengan melahirkan imam madzhab.

                                                            Kondisi Tasyrik

           Tasyrik pada periode ini berjalan seperti halnya pada masa sebelumnya (Khulafaurrosyidin), dimana para sahabat dan tabi’in mengikuti metode system/kaidah istilah sahabat sebelumnya dalam mencari dan menetapkan hukum. Mereka merujuk pada al-Qur’an dan Hadits, bila tidak mendapat dari kedua sumber tersebut. Mereka berijtihad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihat para sahabat.

          Perkembangan tasyrik pada periode ini dapat mengantarkan proses hukum (tasyrik) /fiqh menuju era keemasan adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan tasyirik pada periode ini adalah:

1. Umat Islam Menjadi Tiga Kelompok (Khoiwarij, Syi’ah, jumhur).

          Kelompok ini awalnya hanya merupakan teologi yang membahas tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan tuhan. Namun, karena dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan golongan dan politik, akhirnya membawa mereka pada perbedaan masalah-masalah hukum dan istimbatnya, dengan adanya hal itu, akhirnya perkembangan menjadi kelompok fiqh. Adapun kelompok atau aturan yang muncul adalah:

                                                       Golongan khawarij.

          Golongan ini merupakan kelompok yang tidak setuju dan memisahkan diri dari kelompok Ali yang diikuti kurang lebih 12000 orang. Nama khawarij diberikan oleh kelompok syi’ah. Sementara mereka menamakan kelompoknya dengan kharuriyah atau muhakkimah karma mereka bersemboyan, tiada hukum selain hukum Allah (la hukmah illa billah) yang diketuahi oleh Abdullah ibnu al-Rasyidi. Dalam perkembangannya mereka pecah menjadi beberapa kelompok. “ibadiyah” didirikan oleh Abdullah ibnu al-Tamizi, azzairiqoh, didirikan oleh nafik ibnu azzraq, najdiyah, didirikan oleh ibnu amir, Syafariyah didirikan oleh Abdullah ibnu Saffa’ al-Sa’di.

          Metode mereka dalam mengistimbatkan hukum adalah al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiasy. Hanya saja mereka tidak menggunakan qiyas selagi masih ada nash. Pokok-pokok ajaran mereka dalam fiqh antara lain:

a) Mengkafirkan orang yang berdosa besar

b) Menentang Kholifah yang berdosa besar

c) Khalifah bukanlah barang warisan (turun-temurun)

d) Puasa, shalat zakat dan ibadahnya: lain dipandang satu suku dengan iman.

  Golongan Syi’ah.

          Golongan ini sangat fanatic dengan Ali dan keturunannya. Mereka memandang bahwa pengganti Rasulullah adalah merupakan hak Ali, karena Ali merupakan kerabat Rasulullah. Oelh karena itu, mereka memandang Abu Bakar, Usman dan Umar adalah orang yang dholim karena telah merampas hak Ali, golongan ini pecah menjadi:

a) Kaisaniyah

b) Imamiyah

c) Zaidiyah

d) Utsmailiyah

                                     Metode Syi’ah dalam mengistimbatkan hukum ialah:

1. Al-Qur’an, Syi’ah menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan prinsip mereka dan tiada menerima tafsir dari non Si’ah
2. Al-Hadits, Hadits yang diterima hanya hadits yang melalui jalur Ali dan keturunannya
3. Ijma’ dan qiyas, mereka tidak menerima ijma’ dan qiyas sebagai sumber hukum. Islam karena dengan menerima ijma’ berarti harus mengakui terhadap pendapat non-syi’ah begitu juga dengan qiyas, qiyas hanyalah pendapat (ra’yu).

                                                           Golongan Jumhur

          Golongan ini mencoba untuk netral, tidak memihak pada Syi’ah dan Khawarij, namun akhirnya kelompok ini pecah menjadi dua yaitu aliran ra’yu (raisional) dan ahli Hadits (tradisionalis).

          Aliran ahli Hadits ialah aliran yang berfatwa dengan berpegangan pada otensitas teks al-Qur’an dan Hadits. Mereka tidak menggunakan ra’yu kecuali darurat. Adapun faktor yang mempengaruhi aliran ini kurang menggunakan ra’yu:

a) Pengaruh struktural; pendirian sahabat yang menjadi guru mereka tidak menghendaki rasionalisasi.

b) Struktural hijas dan Madinah adalah tempat para tokoh islam yang banyak mengetahui dan hafal Hadits.

c) Struktural Madinah dan hijas merupakan daerah yang masih sederhana kehidupannya.

           Sedangkan ahli ra’yu (rasionalis) lebih banyak menggunakan ra’yu, disamping jika tidak melepaskan diri dari al-Qur’an dan Hadits. Mayoritas kelompok ini tinggal di kuffah (Irak). Adapun faktor yang menyebabkan lebih menggunakan porsi ra’yu adalah :

a) Pengaruh pendirian gurunya (struktural)

b) Secara struktural; irak adalah tempat terjadinya konflik antara syi’ah dan Khawarij.

c) Secara kultural, Irak adalah daerah yang jauh dari bumi keNabian dan bumi Hadits.

2. Munculnya Kecendrungan Baru Fiqh

            Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa periode ini muncul kecendrungan baru dari ulama yang berdomisili untuk menggunakan rasio dan menganggap hukum syariat sebagai suatu rataran rasionalitas dalam memahami hukum. Mereka tidak hanya mengguanakan rasio tetapi juga memprediksikan suatu peristiwa yang belum terjadi dan melihat status hukumnya. Mereka gemar menyelami suatu hukum, mencari illat dan tujuan-tujuan moral dibalik hukum. Hal ini mendapat tanggapan yang cukup keras dikalangan fuqaha’ hijas (Madinah) yang menganggapa hukum sebagai ketentuan ilahi.

3. Meluasnya Ruang Ikhtilaf

             Kenskekuensi lain dari munculnya kontrofersialisme pemahaman fiqh tadi adalah meluasnya ruang ikhtilaf pada periode ini. Dengan tersebarnya para sahabat di kalangan wilayah islam yang berdampak pada peluasannya ikhtilafiyah dikalangan tabi’in. hal tersebut bisa dipahami karena masing-masing daerah mempunyai situasi, kultur dan tradisi yang berbeda disamping perbedaan kapasitas pemahaman fuqoha dalam menganalisis pemahaman hukum.

4. Tersiarnya Periwayatan Hadits

            Pada periode ini, para tabi’in menampakkan kesanggupannya dalam mencari dan meriwayatkan Hadits. Ibnu Hajar menyebutkan (Jabir bin Abdullah bin Ansori) pernah bercerita tentang perjalanannya selama satu bulan hanya untuk mendengar hadits tentang Qisash.

           Pada periode ini para pemberi fatwa mempunyai beberapa ribu Hadits, tetapi Hadits-hadits tersebut tidaklah berkumpul dalam satu negeri, bahkan tidak dalam satu kitab karena sahabat terpisah dalam berbagai negari. Hal ini yang memotifasi sahabat dan tabi’in untuk bersungguh-sungguh dalam mencari dan mengumpulkan Hadits dari para sahabat.

5. Lahirnya Tokoh-tokoh ilmu dari Ulama Mawali (Budak yang sudah dimerdekakan)

          Mereka memeluk dan belajar islam karena usaha orang lain. Mereka terdapat diseluruh Negara-negara besar Islam bersama sahabat dan Tabi’in dalam menetapkan hukum. Diantaranya adalah Abdullah bin Abbas Maulana Ikrima, Abdullah bin Umar Maulahafi dll.

6. Kondisi Sunnah dan Hadits

          Sebelum kami menjelaskan tentang segala yang berkaitan dengan penyusunan sunnah, akan kami ulas tentang pengertian sunnah agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam mendefinisikan antara sunnah dan Hadits.

          Menurut bahasa (lughad) sunnah bermakna jalan yang dijalani, terpuji. Suatu yang sudah di biasakan walapun tidak baik.

          Adapun sunnah menurut istilah muhaddisin ialah segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi saw. Baik berupa perkataan, perbuatan dan takrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup Rasulullah baik ketika beliau dianggakat menjadi Rasul, ataupun sesudahnya.

           Sedangkan menurut Ulama Ushul Fiqh ialah segala yang dinukilkan dari Nabi, baik berupa perkataan maupun perbuatan ataupun takrir yang berkaitan dengan hukum. (Assiddiqiyah, Habsi, tth: 5-6)

           Kalau kita memakai pendapat yang dominan di kalangan para ahli Hadits, mereka berpendapat bahwa anatara Hadits dan sunnah itu memiliki pengertian yang sama. Namun ketika kita kembalikan pada kajian historisnya, ternyata terdapat sedikit perbedaan antara keduanya dalam pengguaan.

          Pada dasarnya sunnah tidak sama dengan Hadits, mengikuti arti bahasanya, sunnah adalah jalan keagamaan yang ditempuh oleh Nabi yang tercermin dalam perilakunya yang suci. Sedangkan Hadits adalah bersifat umum, yang meliputi sabda dan perbuatan Nabi.

                                                 Seputar Pencataan dan Pengumpulan Hadits

          Disekitar pencatatan Hadits memang para Ulama berbeda pendapat, ada yang memperbolehkan da nada yang melarang, hal ini diperkuat oleh alasan masing-masing. Alasan Ulama yang memperbolehkan pencatatan Hadits, karena para sahabat banyak yang menulisnya, berarti tidak ada larangan untuk mencatatnya. Adapun alasan Ulama yang melarang Hadits, karena ada sebuah Hadits dari Abu Sa’idal-Khudri yang berbunyi “janganlah tulis apa-apa yang datangnya dari saya kecuali al-Qur’an, dan barang siapa mencatat suatu dari saya selain al-Qur’an hendaknya dihapus”.

           Sudah dapat dipahami bahwa dalam abd pertama Hijriyah, mulai dari zaman Rasulullah saw. Masa Khulafaurrasyiidin dan sebagian besar zaman Muawiyah, yakni hingga akhir abad peraa hijriyah, Hadits-hadits ini berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kekuatan hafalannya.

           Dikala kendali Khalifah dipegang oleh Umar ibn Abdul Asis yang di nubatkan dalam tahun 99 H. seorang Khalifah dari bani Amawiyah yang terkenal adil dan wara’ bergetarlah hatinya untuk membukukan Hadits, beliau sadar bahwa para para perawi yang membendaharakan Hadits dalam kepalanya, kian lama kian banyak yang meninggal, beliau kawatir apabila tidak segera dibukukan dan dikumpulkan dalam buku-buku (dewan-dewan) Hadits dari para perawinya, mungkinkah Hadits-hadits itu akan lenyap dari permukaan bumi dibawa bersama oleh para penghafalnya kealam barzah.

          Untuk menghasilkan maksud mulia tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah memerintah kepada gubenur Madinah, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amir ibn Nazmin (120 H) agar supaya membukukan Hadits terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, Amrah ninti Abdirrahman, seseorang ahli fiqh murid Aisyah ra. Dan Hadits yang pada puteranya Abu Bakar Assyidiqi, al-Qosim ibn Muhammad salah seorang fuqaha Madinah yang ke tujuh.

                                     Dampak penyusunan Sunnah (Hadits) Terhadap Tasyri’

           Harus kita sadari bersama, bahwa segala sesuatu yang baik yang telah kita lakukan pasti ada dampaknya, baik itu dampak baik atau berdampak buruk, begitu juga dengan pencatatan pengumpulan Hadits (Sunnah) pasti ada dampak yang harus diterima, terutama terhadap pembentukan sebuah hukum.

1. Dampak Posirif Terhadap Tasyri’

           Hadits adalah sebuah penjelasan dari al-Qur’an, sedangkan al-Qur’an adalah sebagai sumber hukum Islam, jadi untuk memelihara kelestarian suatu sunnah diperlukan pencatatan secara baik, kita bayangkan bagaimana kalau seandainya Khalifah Umar binAbdul Aziz tidak berinisiatif untuk mengumpulkan sunnah, kami rasa sunnah hanyalah tinggal kenangan saja bersama penghafalnya, jadi menurut kami penyusunan sunnah yang dilakukan Khalifah ini sangat tepat, karena al-Qur’an itu kandungan hukumnya adalah global, perlu ditafsirkan lagi agar kandungan hukumnya lebih spesifik, adapun untuk menjelaskan hal-hal itu, kita butuh Hadits, ia kalau dulu sahabat langsung kepada Rasulullah saw. Ketika ada hukum yang samar-samar, tapi kalau sekarang pada siapa? Kalau tidak pada sebuah Hadits.

2. Dampak Negatif terhadap Tasyri’

            Adapun dampak negatifnya para Ulama abad ke dua membukukan Hadits dengan tanpa saingan. Mereka tidak hanya membuktikan saja, fatwa-fatwa sahabat juga dimasukkan dalam buku itu, bahkan fatwa tabi’in juga dimasukkan, sehingga hanya terdapat pemalsuan terhadap Hadits yang disebabkan bercampurnya antara Hadits dan perkataan Sahabat, contohnya pada masa ini muncullah propaganda-propaganda untuk menumbangkan rezim amawiyah. Untuk mudah mempengaruhi massa, maka dibuatlah Hadits-hadits palsu untuk menarik simpati pada pemerintah Abbasiyah, begitu juga sebaliknya, pihak Amawiyah tidak tinggal diam, mereka membuat Hadits palsu juga untuk membendung propaganda penganut Abbasiyah.

           Dan juga disusunnya Hadits kebanyakan umat Islam Taqlid pada perkataan para fuqaha. Kalau kita menoleh pada masa Rasulullah, tapi kalau sesudah sunnah itu dibukukan timbullah Taqlid, masing-masing pengikut fuqaha maenguatkan madhab gurunya, walau terkadang madhabnya dalam suatau masalah tentang menyalahi sunnah yang diterima dari para perawi kepercyaan umat islam pecah, masing-masing dibawa oleh paham yang mereka ikuti.

           Beberapa lamanya perang perdebatan berkecamuk, bantah membantahi semakin menghebat, sehingga pada akhirnya masing-masing golongan berpegang teguh pada madzhabnya dengan tidak memeriksa madzhab yang lainnya. Memang manakala hukum-hukum fiqh telah ditetapkan dan telah dibukukan, manusia ikut secara buta, untuk menghasilkan kemaslahatan dunia akhirat, yang kebanyakan hukum yang ada dalam kitab-kitab itu diambil dari sunnah.

                                                  Kedudukan Hadits dalam Tasyri’

          Takala Allah berfirman kepada Nabinya “dan kami turunkan al-Qur’an kepadamu agar kamu menerangkan kepada manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka” (an-Nahl:44) Allah mengingatkan orang-orang mukmin akan kedudukan sunnah dalam Tasyri’. Sebab sesungguhnya sabda dan tindakan Rasulullah, itu menjelaskan maksud dari al-Qur’an, merinci yang masih bersifat global, membatasi yang masih mutlak. Jadi sunnah berdiri sendiri dalam perundang-undangan ketika al-Qur’an sama sekali tidak memberikan keterangan maka sunnah yang bertindak sebagai penjelas.

          Sungguh seandainya orang mukmin mempunyai pilihan terhadap ketetapan sunnah Rasulullah saw. Maka wajib dilakukan hanyalah menjadikan sunnah sebagai penegak setiap perselisihan dan tuntutan, disertai ketundukan total terhadap setiap hukum yang dikeluarkan.

                                                    DAULAH ABBASIYAH

           Setelah Daulah Umayyah runtuh, maka pemerintahan diganti oleh Daulah Abbasiyah. Pada masa Abbasiyah ini disebutkan juga Mujtahidin dan masa Pembukuan Fiqh, karena pada masa ini terjadi pembukuan dan penyempurnanaan Fiqh. Pada masa pemerintahan Abbasiyah mulai dari pertengahan abad ke-2 H. dan pertengahan abad ke-4 H ini, muncul usaha-usaha pembukuan as-Sunnah, fatwa-fatwa sahabat, dan tabi’in dalam bidang Fiqh, Tafsir, dan Ushul Fiqh. Dan masa Abbasiyah ini lahir pula para tokoh istimbat dan perundang-undangan Islam.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *