Wednesday, May 25, 2016

Hukum Taqlid dan Ittiba'

                                                                  



           Kata taklid berasal dari bahasa Arab yakni kata kerja“Qallada-yaqallidu-taglidan”, artinya meniru menurut seseorang dan sejenisnya.

           Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah :

قبول قول القا ئل وانت لا تعلم من انت قاله.

“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alasan perkataannya itu.”

           Ada juga ulama lain memberi definisi, seperti Al-Ghazali, yakni :

قبول قول القائل الغير دوان حخته

“Menerima perkataan orang lain yang tidak ada alasannya.”

           Selain definisi tersebut, masih banyak lagi definisi yang diberikan oleh para ulama, yang kesemuanya tidak jauh berbeda dengan definisi di atas. Dari semua itu dapat di simpulkan bahwa,taqlid adalah menerima atau mengambil perkataan orang lain yang tidak beralasan dari Al-Qur’an Hadis, Ijma’ dan Qiyas

Hukum Taqlid

           Taqlid itu, ada ada yang haram dan haram kita berikan fatwa berdasarkan faham tersebut. Namun ada yang wajib, dan ada pula yang boleh kita anut.

Segala bentuk taqlid ini, dicela Allah dalam al-Qur’an.

Kata Al imran ad Dahlawi:

لايجوز لعا مي ان يقلد رجلا من الفقهاء بعينه يري انه يمتنع عن مثله الخطﺃ اوان ما قل هو الصواب البته في نفسي ان لا يترك تقليده

“tidak boleh seseorang ummi bertaqlid kepada seseorang alim yang tertentu dengan anggapan, bahwa orang yang seperti orang itu tak patut salah, atau dengan anggapan, bahwa segala yang di fatwakan oleh alim tersebut benar, serta enggan pula berpindah kepada pendapat orang lain, walaupun sudah ada dalil membenarkan pendapat orang lain itu.”

para ulama membagi hukum taqlid menjadi tiga, yaitu:

Haram

           Yang di maksud haram yaitu taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunah, taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya, dan taqlid kepada pendapat seseorang sedang ia mengetahui bahwa pendapat orang itu salah.

Boleh

           Yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. Dengan kata lain, bahwa taqlid seperti ini sifatnya hanya sementara.

Wajib

            Yaitu taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan dan ketetapannya dijadikan hujjah, yaitu Rasulullah saw.

Pendapat Para Ulama Mengenai Taqlid

            Muhammad Rasyid Ridha merumuskan definisi taqlid dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat Islam. Taqlid menurut beliau adalah mengikuti pendapat orang yang diianggap terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam hukum Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik buruknya, serta manfaat mudharatnya pendapat tersebut.

Para ulama ushul fiqh sepakat melarang taqlid dalam tiga bentuk berikut ini:

1. Semata-mata mengikuti tradisi nenek moyang yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist. Contohnya, tradisi nenek moyang tirakatan selama tujuh malam di makam, dengan keyakinan bahwa hal itu akan mengabulkan semua keinginannya, padahal perbuatan tersebut tidak sesuai dengan firman Allah, antara lain dalam surah Al-Ahzab ayat 64

ان الله لعن الكفرين واعد لهم سعيرا

Artinya;

“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir,dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka).

2. Mengikuti seseorang atau sesuatu yang tidak diketahuui kemampuan dan keahliannya dan menggandrungi daerahnnya itu melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri. Hal ini disinggung oleh Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 165-166

ومن انا س ميخذمندون الله اندادا يحبونهم كحب الله ۗ والذين امنوا اشدحبا لله ۙ ولويرالذين ظلموا اذيرون العذاب ان القوة لله جميعا وان لله شد يد العذاب ﴿١٦٥ ﴾ اذتبرا الذين اتبعوا من الذين تبعوا وراوا العذاب وتقطعت بهم الا سبا ب ﴿١٦٦﴾

Artinya:

“Dan diantara manusia ad diantara orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu hanya milik Allah amat berat siksaa-Nya (niscaya mereka akan menyesal),

(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan mereka terputus sama sekali.

Mengikuti pendapat seseorang, padahal diketahui bahwa pendapat tersebut salah. Firman Allah dalam surah Al-Taubah ayat 31

اتخذوا احبارهم ورهبا نهم اربابا من د ون الله والمسيح ابن مريم وما امروا الا ليعبدوا الها واهدا لااله الاهو ۗ سبحنه عما يشركون ﴿۳۱﴾
Artinya;

“Mereka menjadika para tokoh agama dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan menuhankan al-Masih anak Maryam, padahal mereka (tahu) hanya disuruh menyembah Tuhan yang satu, Tiada Tuhan selain-Nya. Maha Suci Dia dari segala apa yang mereka sekutukan.


Sehubungan dengan ayat di atas, ‘Adi bin Hatim berkata bahwa ia pernah datang kepada Rasulullah, padahal di lehernya tergantung salib. Lalu Rasulullah berkata kepadanya: “Hai Adi, lemparkanlah salib itu dari lehermu dan jangan kamu pakai lagi.” ‘Ya Rasul kami tidak menjadikan pendeta-pendeta sebagai tuhan.” Lalu Rasul berkata lagi ‘Bukankah kammu tahu bahwa mereka menghalalkan bagimu apa yang diharamkan Allah dan mereka mengharamkan atasmu apa yang dihalalkan Allah, dan kamu ikut pula mengharamkannya?

Ayat dan hadis di atas mengingatkan agar kita tidak mengikuti sesuatu yang memang sudah jelas salah, tapi karena ingin menghormati seseorang atau fanatik terhadap suatu golongan ataujuga karena mode, lalu diikuti juga. Hal ini sangat dicela oleh Allah.

Akan halnya orang awam yang memang tidak punya kesanggupan berijtihad sama sekali maka jumhur ulama ushuliyyin berpendapat wajibnya bagi setiap orang awam bertanya pada mujtahid. Hal ini didasarkan pada firman Allah surah Al-Nahl ayat 43

وما ارسلنا من قبلك الا رجالا نوحي اليهم فسئلوا اهل الذكر ان كنتم لاتعلمون ﴿٤٣﴾

Artinya:

“maka berrtanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahuinya”.

Namun demikian, menurut Al-Dahlawy, taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam artian mengikuti pendapat orang alim, karena belum ditemukan hukum Allah dan Rasul berkenaan dengan suatu perbuatan. Namun, seseorang yang bertaqlid tersebut harus terus belajar mendalami pengetahuan hukum islam. Bila pada suatu saat orang yang bersangkutan menemukan dalil bahwa apa yang ditaqlidinya selama ini bertentangan dengan syariat Allah, ia harus meninggalkan pendapat yang ditaqlidinya tadi.

Pesan Para Ulama mengenai Taqlid

Imam Abu hanifah berkata :

,,Jika perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan hadis Rasul, maka tinggalkanlah perkataan saya ini. Seseorang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata”.

Imam Malik berkata :

,,Saya hanya manusia biasa yang kadang-kadang salah dan kadang-kadang benar. Selidiki pendapat saya. Kalau sesuai dengan Qur’an dan hadis, maka ambillah. Yang menyalahi hendaknya tinggalkan”.

Imam Syafi’i berkata :

,,perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti orang yang yang mencari kayu diwaktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di dalamnya ada ular yang mengantup, dan ia tidak tahu”.

Imam ahmad bin Hanbal berkata :

,,jangan mengikuti (taqlid) saya atau malik atau Tsauri atau Auzai’i, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil”.

Ibnu Mas’ud berkata :

,,Kamu jangan menaqlidi orang. Kalau ia iman, maka kamu beriman. Kalau ia kafir, maka kamu kafir. Tidak ada tauladan dalam hal-hal buruk”

                                                                   ITTIBA’

              Kata‘’Itibba’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il “Ittaba’a-Yattbi- Ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau menurut.

Ittiba’ yang dimaksud di sini adalah:

قبول قول القا ئل وانت لا تعلم من انت قاله

artinya

“Menerima perkataan orang lain yang berkata yang berkata, dan kamu mengetahui alasan perkataannya.”

Di samping ada juga yang memberi definisi :

قبول قول القائل بدليل راخح

artinya

“menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”

             Jika kita gabungkan definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa, ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang diangap lebih kuat dengan jalan membanding.

Hukum Ittiba’

             Dari pengertian tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dinamakan ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang mengambil atau mengikuti alasan-alasan, dinamakan “Muttabi”

           Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh Allah, sebagaimana firmannya surah al-a’raf ayat 3

اتبعوا ما انزل اليكم من ربكم ولا تتبعوا مندونه اوليٲ ۗ قليلا ما تذكرون ﴿۳﴾

Artinya:

“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.(QS. Al-A’raf:3)

Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya.

Di samping itu juga ada sabda Nabi

عليكم بسنتى وسنة الحلفاء الرسدين من بعدى

artinya

Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku. (HR.Abu Daud)


Pendapat Ulama Mengenai Ittiba’

           Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.

Ittiba’ dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

A. Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya, dan

B. Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya.



Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 3

اتبعوا ما انزل اليكم من ربكم ولاتتبعوا مندونه اوليٲ ۗ قليلاما تذكرون ﴿۳﴾

Artinya;

“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”.


               Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’ kepada Rasul. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada ulamayang dikategorikan sebagaiwaratsatul anbiya’, dengan alasan firman Allah Surah Al-Nahl ayat 43

وما ارسلنا من قبلك الا رجالانوحي اليهم فسئلوا اهل الذكر ان كنتم لاتعملون ﴿٤٣﴾

Artinya:

“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.

               Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahuan” (ahl al-dzikri) dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis serta bukan pengetahuan berdasrkan pengalaman semata. Karena orang-orang seperti yang disebut terakhir dikhawatirkan akan banyak melakukan penyimpangan –penyimpanagn dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadis Rasul, bahkan yang terkandung dalam Alquran. Untuk itu, kepada orang-orang yang seperti ini tidak dibenarkan berittiba’ kepadanya.

               Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi’ tidak memenuhi syarat-syarat tertentu untuk berititba’. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui Islam. Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum muslimin sekalipun mereka awam dapat mengamalkan ajaran islam dengan penuh keyakinan karena adanya pengertian. Karena suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian dan keyakinan akan menimbulkan kekhusukan dan keikhlasan.

               Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid atau ulama diragukan kebenarannya, maka muttabi’ yang bersangkutan boleh saja bertanya kepada mujtahid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan keyakinannya dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba’ tidak harus dilakukan kepada beberapa orang mujtahid atau ulama. Mungkin dalam satu masalah mengikuti ulama A dan dalam masalah lain mengikuti ulama B.

              Bagaimana taqlid orang sekarang ?

             Tak dapat di ragukan taqlid yang sedang mempengaruhi jiwa kebanyakan anggota masyarakat kita sekarang ini, ialah; taqlid yang terang-terang di larang oleh segenap ulama’. Karena taqlid kita sekarang ini, taqlid kepada kitab yang di mashurkan namanya baik mujtahid pengarangnya, atau mokollid. Bahkan kebanyakan kita sekarang ini hanya bertaqlid kepada segala pendapat yang terdapat dalam kitab-kitab yang banyak dipakai di tanah air kita yang di susun dalam zaman kemunduran fiqh dan kekerasan pengaruh taqlid buta, seperti; fath-ul mu’in, at-tahrir, al-bajuri dan sebagainya. Kita anggap apa yang tertulis dalam kitab-kitab itu harus di turuti tidak boleh di ingkari. Menyalahi isi kitab itu, di hukaumkan sesat.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *