Saturday, May 7, 2016

Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqh





Dalam perjalan sejarah perkembangan hukum islam dari semenjak timbulnya hingga saat ini selalu terdapat ciri khas yang menonjol yang membedakan suatu kurun waktu tertentu dengan kurun waktu yang lain, karena itulah para pakar sejarah membagi sejarah perkembangan hukum islam menjadi lima priode, yakni: periode pembinaan, periode fatwa, periode pembukuan, periode taklid dan periode kebangkitan kembali

p    Periode pembinaan
Periode ini berlangsung selama kurun waktu kerasulan Muhammad saw. Yang lamanya kurang lebih 23 tahun, yang dibagi kedalam dua masa yakni masa Rasulullah di Mekkah dan masa Rasulullah di Madinah.
Disebut masa pembinaan, menurut Hasby (1990 : 54) karena pada periode ini fiqh dibina sendiri oleh Rasulullah saw. Melalui perkataan, perbuatan dan taqrirnya yang secara substansional bersumber dari wahyu Allah swt. Pada masa ini, pemegang ooritas sebagai hakim dan amirul mu’minin di segala bidangyang menghendel semua persoalan masyarakat adalah Nabi Muhammad saw. Sendiri.
Sebelum diutusya Nabi Muhammad saw. Di semenanjung arabia, komunitas masyarakat terdiri atas beberapa suku dan kabilah, masing-masing suku dipimpin oleh seorang yang dianggap cerdas dan berwawasan luas yang kemudian disebut kepala suku. Diantara tugas kepala suku adalah sebagai panglima perang, juru runding sekaligus pemegang otoritas hukum terhadap perkara-perkara yang terjadi antara sesama  anggota suku.
Peraturan-peraturan yang diterapkan mereka, pada hakikatnya adalah hukum adat yang diwarisi dari nenek moyang mereka atau hasil pengalaman mereka sendiri atau juga diadopsi dari hukum adat daerah lain yang pernah mereka kunjungi, sperti : Persia, Yaman, Libia, dan Irak yang saat itu notabene beragama yahudi.
Diantara hukum-hukum tersebut misalnya : poligami tanpa batas, nikah miqat yakni anak laki-laki tertua mewarisi bekas istri ayahnya (ibu tiri) sebagai istri setelah ayahnya meninggal dunia, nikah mut’ah, hukum potong lidah bagi penuduh tanpa bukti, akad jual beli cukup dengan meraba, bagi yang berhutang yang tidak dapat melunasinya akanterlihat ganda, dan dalam hukum waris adalah tidak membagikan bagian sama sekali bagi anak perempuan. Bahkan pada suku suku yang ortodokdan ekstrim, diberlakukan hukum rimba, yakni siapa yang kuat dia yang dapat.
Setelah diutusnya Nabi Muhammad saw. Menurut khudri (2001 : 33) secara gradual hukum-hukum yang kurang manusiawi tersebut mulai dilikludiasi dan diganti dengan hukum-hukum yang berorientasi kepda nilai-nilai kemaslahatan dan kemanusiaan.
Sebagaimana lazimnya orang membuat bangunan, mula-mula yang dilakukan Rasulullah saw. Di Mekkah adalah memperkokoh fondasi kemanusiaan, aspek keimanan dan akhlaqul karimah menjadi awal yang diinternalisasikan Rasulullah kepda masyarakat sebagai landasan fundamental dalam membangun komunitas masyarakat yang didambakan.
Pada periode Mekkah yang berlangsung sekitar kurang lebih 13 tahun, fokus dakwah Nabi saw. Adalah ditekankan pada aspek aqidah dan akhlak.umat islam pada saat itu belum dibebani berbagai macam hukum kecuali hanya sedikit, ayat hukum alamiyah yang turu saat itu hanya yang berhubungan erat dengan kewajiban bersuci, sholat lima waktu, larangan makan daging haram, wajib berlaku adil, larangan zina, larangn membunuh dan semacamnya, itupundilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi karena faktor situasi lingkungan yang belum memungkinkan untuk disebar luaskan secara terang-terangan, setelah Nabi saw. Hijrah ke Madinah barulah hukum islam disosialisasikan secara terbuka dan terang-terangan.
Di Madinah yang berlangsung sekitar kurang lebih 10 tahun, kaum muslimin telah mendirikan sebuah pemerintahan, maka disinilah dirumuskan sekaligus diterapkan banyak hukum alamiyah dalam bidang ibadah, muamalah, munakahah, jinayah, hukum perang, masalah jenazah, akhwalus syaksiyah, akhwalus sulthoniyah dan akhwalul qodawiyah.
Terbentuknya suatu hukum pada periode pembinaan ini bagi Hamid (2002 : 7) disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1.      Adanya pertanyaan-pertanyaan shabat kepada Nabi saw. Baik yang bersifat pribadi maupun yang bersifat kolektif.
2.      Andanya peristiwa atau kejadian yang berlangsung dimasyarakat baik yang bersifat perorangan maupun umum yang membutuhkankejelasan hukum.
Pertanyaan para Sahabat itu salah satu contohnya adalah seperti dilukiskan dalam  QS. 2 : 219 :
وَلاَ تَنِكَحُوْا مَا نَكَحَ ءَا بَآ ؤُكُمْ مِنَ النِّسَآ ءِ أِلاَّ مَا قَدْ سَلَفْ ، أِنَّهُ , كَا نَ فَحِشَةً وَمَقْتًا وَسَآءَ سَبِيْلاَ
Artinya: “dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu sangat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”
Ayat diatas turun berkenaan dengan peristiwa seorang sahabat bernama muhsin bin Qois yang hendak mengawini ibu tirinya (janda ayah kandungnya), ketika ia melamarnya, ibu tirinya berkata “engkau telah kuanggap sebagai anakku sendiri sejak ayahmu mengawiniku padahal engkau termasuk anak dari orang sholeh, karena Muhsin terus memaksanya, maka ibu tiri itu melaporkan pada Rasulullah, lalu turunlah surat an Nisa’ ayat 22 diatas. Ayat serupa juga terdapat pada QS.2 ayat 211 

 Periode fatwa
Periode ini dimulai sejak tahun 11 H. Pasca wafatnya Rasulullah saw. Sampai dengan akhir abad 1 H. Jadi periode ini berlangsung selama kurun waktu 90 tahun yakni pada masa pemerintahan khulafaur Rasyidin hingga pemerintahan Bani Umayah.
Kendati Rasulullah telah meninggalkan nash-nash hukum, tetapi tidak semua orang islam mampu memahami nash-nash hukum tersebut kecuali dengan bantuan orang tertentu yang dapat menjelaskannya.
Ketika kekuasaan islam makin luas hingga beberapa kawasan diluar semenanjung arabia, seperti mesir, syiria, irak, dan persi, maka persoalan hukum yang muncul juga semakin kompleks, karena itu para ulama’ dari kalangan sahabat merasa berkewajiban untuk memberi fatwa terhadap persoalan-persoalan hukum yang timbul dikalangan kaum muslimin yang saat itu mayoritas awam. Karena itulah, masa ini disebut periode fatwa.
Diantara ulama’ yang memberikan fatwa dimadianh antara lain : Khulafur Rasyidin, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, Abdulloh bin Umar, Siti Aisyah, dll.di Mekkah adalah Abdullah bin Abbas, di kufah, Antara lain Ali bin Abi Thalib, dan Abdullahbin Mas’ud, di Basrah adalah Anas bi Malik dan Abu Musa al-Asy’ari, di Syam, Mu’ad bin Jabal dan Ubadah bi Tsamit, di mesir adalah Andullah bin Amr, selain mereka masih banyak sahabat-sahabat yang lain yang jumlahnya tidak kurang dari 130 orang yang tersebar diberbagai tempat. 

 Periode pembukuan
periode ini menurut Zaki Bek (2001) berlangsung kurang lebih 250 tahun, yakni sejak awal abad II H. Sampai dengan pertengahan abad IV H. Pada masa ini, takkala pemerintahan dipegang oleh Bani Abbasiyah, dunia islam Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat disemua bidang, termasuk ilmu pengetahuan dan ilmu fiqh.
Menurut para ahli sejarah pada periode ini kemajuan dan perkembangan ilmu fiqh mencapai puncaknya, hal tersebut ditandai oleh beberapa hal, antara lain :
1.      Kian meningkatnya kwantitas dan kualitas para ulama’ yang melakukan ijtihad guna merumuskan status hukum atas berbagai persoalan.
2.      Banyaknya penulisan kitab-kitab standart mengenai ilmu fiqh, ushul fiqh, qowaidul fiqh, dan hikmatut tasyri’ yang diterbitkan oleh berbagai kalanagan.
3.      Adanya perhatian para khalifah terhadap ilmu fiqh.
4.      Adanya kebebasan berpendapat sehingga diskusi-diskusi berkembang pesat dikalangan kaum muslimin.
5.      Berkembangnya berbagai madzhab fiqh.
6.      Banyaknya penerjemahan berbagai ilmu kedalam bahasa arab. 

Periode taqlid
Periode ini berlangsung kurang lebih  9 setengah abad lamanya, yakni mulai pertengahan abd ke IV H. Sampai dengan abad XIII H. Pada masa ini kekuasaan islam mulai melemah dan mengalami kemunduran karena perpecahan-perpecahan, banyak daerah yang melepaskan diri dari kekuasaan Bani Abbasiyah dan mendirikan pemerintahan sendiri, puncaknya adalah runtuhnya pemerintahan Abbasiyah dan jatuhnya kota Baghdad ke tangan tentara tartar dari bangsa mongol.
Para periode ini para ulama’ tidak sempat melakukan upaya pengembangan ilmu pengetahuan, mereka hanya mengikatkan diri (bertaqlid) kepda madzhab-madzab fiqh yang ada. Kalaupun ada ijtihad, hanya terbatas pada soal-soal yang tidak didapati dalam fiqh manhabnya saja, hingga pada abad VII H. Dan seterusnya, pintu ijtihad telah tertutup sama sekali. 

Periode kebangktan kembali
Periode ini dimulai akhir abad ke XII H. Dan berlangsung hingga saat ini. Sejak itu menurut Muhammad Ali (2001 : 4) umat islam mulai menyadari kelemahan-kelemahannya dan mulai berupaya mengagas gerakan-gerakan pembaruan, baik dibidang pendidikan, sosial, ekonomi, politik, militer dan ilmu pengetahuan.
Tercatat beberapa nama yang menjadi lokomotif utama dalam memprakarsai gerakan perubahan di daerahnya masing-masing, misalnya Ibnu taimiyah, ibnu Qoyyim Jauziah, Muhammad bin Abdul Wahab, Muhammad as-Sanusi, Jalaludin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, dll.
Dalam periode kebangkitan kembali ini, wacana yang dikembangkan adalah pandangan islam merupakan organisme yang hidup dan berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia, karena itu teks suci mesti ditafsirkan secara kontekstual, substansial dan non literal. Bagi kelompok pembaharu hanya dengan model tersebut dalam islam akan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban manusia universal, maka pintu ijtihadpun mesti dibuka pada semua bidang sehingga memungkinkan islam mampu menjawab berbagai persoalan kemanusian yang terus berubah, bagi mereka penutupan pintu ijtihad merupakan ancaman serius yang menjadikan islam mengalami pembusukan dari dalam.
Untuk itu mereka menolak anggapan bahwa ajaran islam sudah final dan tidak perlu diperbaharui karena secara otoritatif telah dirumuskan oleh para ulama’ terdahulu secara final. Anggapan ini menurut mereka hanya membuat umat islam terhina bobokkan oleh imajinasi nostalgis dan kehilangan daya kreatif, padahal setiap bentuk penafsiran atas teks adalah “kegiatan mausiawi” yang terkoptasi oleh kepentingan tertentu, karena itu ia tidak terbebas dari probabilitas salah selain  probabilitas benar.
Maka tafsir atas teks yang dilakukan ulama’ salaf adalah bersifat relatif, terbuka dan prular, sehingga diantara mereka boleh saling menyangkal dan akhirnya kebenaran ditemukan secara induktif melalui adu dan uji pendapat. Yang diusahakan oleh kelompok ini. Adalah terwujudnya ruang dialog yang terbuka, bebas dan jujur, sebab hanya dengan tersedianya rang yang terbuka buat dialog, perkembangan pemikiran islam akan berjalan secara sehat.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *