Dari segi kebahasaan (etimologi) al-‘Urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra’ dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang dikenal), devinisi), ta’rif (devinisi), kata ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik).
Adapun dari segi terminologi, kata ‘urf mengandung makna :
مَا اعْتَا دَهُ وَسَارُوا عّلَيْهِ مِنْ قُلِّ فِعْلٍ شَا عَ بَيْنَهُمْ، أَوْ لَفْظٌ تَعَا رَفُوا أِطْلَاقَهُ عَلَى مَعْنًى خَاصٍ لَا تَأَلَّفَهُ اللُّغَةُ وَلَا يَتَبَادَرُ غَيْرَهُ عِنْدَ سِمَا عِهِ
Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam setiap bentuk perbuatan yang populer di antara mereka, ataupun sutu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.
Kata ‘urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah al-‘adah (kebiasaan), yaitu:
مَا اسْتَقَرَّ فِي النُفُوْسِ مِنْ جِهَّةِ العُقُوْلِ وَتَلَتْهُ الطَّبَا عُ السَّلِيْمَةُ بِالْقَبُوْلِ
Sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima akal yang sehat dan watak yang benar.
Kata al-‘adah itu sendiri, disebut demikan karena ia dilakukan secara berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan masyarakatDalam penjelasan di atas dapat dipahami, al’urf atau al-‘adah terdiri atas dua bentuk yaitu, al-‘urf al-‘qauli (kebiasaan dalam bentuk perkataan) dan al-‘urf al-fi’li (kebiasaan dalam bentuk perbuatan).
‘Urf dalam bentuk perbuatan, misalnya, transaksi jual beli barang kebutuhan sehari-hari di pasar, tanpa engucpkan ijab dan kabul, Demikian juga membagi mahar menjadi “hantaran” dan “mas kawin”. Sedangkan contoh ‘urf dalam bentuk perkataan, misalnya, kalimat “engkau saya kembalikan kepada orang tuamu” dalam masyarakat islam indonesia, mengandung kata talak.
خُذِ العَفْوِ وَأمُرْ بِالعُرْفِ وَاعْرِضْ عَنِ الجَا هِلِيْنَ (الأعراف: 199)
“berikanlah maaf (wahai Muhammad) dan perintahkanlah dengan sesuatu yang baik, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh. QS. Al-A’raf:119”
Menurut As-Suyuthi seperti yang dikutip Syaikh Yasin Isa al-Fadani-kata al-‘urf pada ayat di atas bisa diartikan sebagai kebiasaan atau adat. Ditegaskan juga oleh Syaikh Yasin, adat yang dimaksud di sini adalah adat yang tidak bertentengan dengan syariat. Namun pendapat ini dianggap lemah oleh komunitas ulama lain. Sebab, jika ‘urf diartikan sebagai adat istiadat, maka sangat tidak selaras dengan asbab al-nuzul-nya, dimana ayat ini diturunkan dalam koteks dakwah yang telah dilakukan Nabi saw. Kepada orang-orang arabyang berkarakter keras dan kasar, juga kepada orang-orang yang masih lemah imannya.
Dengan latar belakang semacam ini, al-‘urf yang tertera dalam ayat di atas bukanlah adat, melaikan metode dan etika dakwah yang harus dilakukan Nabi saw. Kepada mereka; yakni ajakan yang harus dilakukan dengan cara-cara yang baik dan lemah lembut. Ditambahkan oleh Dr. Abdul Karim Zaydan bahwa al-‘urf yang dimaksud ayat ini adalah hal-hal yang telah diketahui nilai baiknya dan wajib dikerjakan (ma’ urifa wa wajaba fi’ luh); yakni segala sesuatu yang diperhatikan oleh syariat.
Sedangkan Abdullah bin Sulaiman al-Jarhazi menyatakan, sangat mungkin kaidah al-‘adah muhakkamah ini diformulasikan sesuai dengan muatan pesan yang terkandung dalam al-Quran Surat al-Nisa’ ayat 115:
وَمَنْ يُشَا قِقِ الرَسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبْيِنَ لَه الهُدَى وَيَتَّبِعُ غَيْرَ سَبِيْلِ المُؤْ مِنِيْنَ نولّه ما تَوَلّى وَنُصلِه جَهَنّم وسآ ءت مَصِيْرًا
“Barang siapa menentang Rasul setelah datangnya petunjuk dan mengikuti selain jalin orang-orang Mukmin, maka kami biarkan dia leluasa dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan akan kami masukkan mereka kedalam neraka Jahannam. Dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. QS. Al-Nisa’: 155”
Al-Jarhazi berargumen, kata sabil adalah sinonim dengan thariq yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti sama, yaitu jalan. Dengan demikian, sabil al-mu’min di sini dapat dijewantakahkan sebagai sesuatu yang diyakini sebagai etika dan norma yang baik dalam pandangan kaum Muslimin, serta sudah menjadi langgam budaya sehari-hari mereka.
المِكْيَا لُ مِكيَا ل أهلِ المَدِ ينة ، والوزْنُ وزنُ أهلِ مكّةَ
“Takaran adalah bagi penduduk madianah, timbangan adalah untuk penduduk penduduk Makkah”
Titik tekan (wajh al-dilalah) dalam hadits ini terletak pada penegasan Nabi saw. Bahwa, penduduk Madinah yang rata-rata berprofesi sebagai petani kurma dan gabah, dalam transaksi jual-belinya, diarahkan untuk tetap memakai takaran. Sementara bagi kawasan yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai pedangang, seperti penduduk Mekah, Nabi saw. memberi legitimasi pada tradisi yang berkembang di kedua kota tersebut, dan tidak bermaksud menghapus atau “memaksakan” tradisi di satu kawasan harus diterapkan di kawasan lain, jika memang tidak sesuai dengan kebutuhan.
Dalam riwayat lain dikisahkan, unta milik shahabat Barra’ bin ‘Aziz al-Anshari ra. Memasuki sebuah kebun milik oarang lain dan merusak tanaman yang terdapat di dalamnya. Ketika Nabi saw. Mengetahui peristiwa itu, beliau menegaskan;
أِنّ على الحَوَائِطَ حفْظَهَا بِالنَهَارِ ، وَعَلَى أهلِ المَوَاشِى حفظَهَا بِاللَيلِ
“pemilik kebun harus merawat kebunnya disiang hari, dan pemilik hewan piaraan harus menjaga ternaknya di dalam hari”
Sejarah mencatat, masyarakat arab kuno terbiasa berkebun atau merawat kebun mereka di siang hari, sementara ternak piaraan biasanya dimasukkan ke kandang pada malam harinya. Kebiasaan seperti ini sudah berjalan bertahun-tahun secara turun-temurun, dan dianggap sebagai norma sosial dan konvensi umum yang harus dipatuhi. Di sinilah titik tekan (wajh al-dilalah) hadits ini. Artinya, Nabi saw. Menekankan bahwa bila perusakan itu terjadi pada malam hari, maka Barra’ ra. Harus mengganti rugi (tadlmin), karena ia telah lalai memelihara ternaknya, maka Barra’ tidak wajib membayar ganti rugi, karena pemeliharaan harta pada siang hari dibebenkan kepada pemilik kebun.
Dua Hadits yang berberkelindan dengan peristiwa-peristiwa di atas, tidaklah berarti menghapuskan hukum islam untuk digeneralisir sesuai dengan redaksi-tekstualnya. Dalam arti, hukum timbangan, takaran, pemeliharaan kebun, hingga pengandangan ternak diseluruh daratan bumi tidak harus mengiblat total terhadap apa yang ada di tanah Arab; kedua Hadits tersebut sama sekali tidak berpretensi (bertujuan) “mengangkut” budaya partikular Arab untuk kemudian didaratkan di berbagai belahan dunia. Substansi terdalam dari keduanya adalah bahwa ajaran islam sangat memperhatikan unsur-unsur kebudayaan, sehingga islam tidak bermaksud untuk menghapusnya, melaikan mengajak “bekerjasama” secara senergis untuk memahami kebutuhan –kebutuhan masyarakat dan problem-problemnya serta tantangan-tantangannya kedepan.dan konklusi hipotetis ini pun dipertegas lagi oleh hadits marfu’ riwayat Abdullah Ibn Mas’ud ra.
مَا رَآهُ المُسْلِمُونَ حَسَنًا فهُو عند اللهِ حَسنٌ
“Apa yang diyakini kaum muslimin sebagai suatu kebaikan, berarti baik pula di sisi Allh swt.
Dengan demikian, ia tidak perlu ditentang atau dihapus, akan tetapi justru bisa dibuat pijakan untuk mendesain produk hukum. Sebab pandangan hukum seperti dimaksud di atas tidaklah bertentangan dengan apa yang “dikehendaki” Allah swt. Sebagai pembuat undang-undang syariat.
Ditinjau dari segi jangkauannya, ‘urf dapat dibagi dua, yaitu: al-‘urf al-‘amm dan al-‘urf al-khashsh.
Al-‘Urf al-‘Amm
Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebagian besar masyarakat dalam berbagai macam wilayah yang luas. Misalnya, membayar ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh maksimum. Demikian juga, membayar sewa penggunaan tempat pemandian umum dengan harga tiket masuk tertentu, tanpa membatasi fasilitas dan jumlah air yang digunakan, kecuali hanya membatasi pemakaian dari segi waktunya saja.
Al-‘Urf ash al-khashsh
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya, kebiasaan masyarakat jambi menyebut kaliamat “satu tumbuk tanah” untuk menunjuk pengerian luas tanah 10 X 10 meter. Demikian juga kebiasaan Masyarakat tertentu yang menjadikan kuitansi sebagai alat bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua orang saksi.
Selanjutnya ditinjau dari segi keabsaannya, al-‘urf dapat pula dibagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut.
Al-‘Urf ash-shahihah (‘Urf yang absah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan hukum islam. Dengan kata lain, ‘urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi halal, atau sebaliknya, mengubah ketentuan halal menjadi haram. Misalnya, kebiasaan yang terdapat dalam suatu masyarakat, hadiah (hantaran) yang diberikan kepada pihak wanita ketika peminangan, tidak dikembalikan kepada pihak laki-laki, jika peminangan dibatalkan oleh pihak laki-laki, jika yang membatalkan peminangan adalah pihak wanita, maka “hantaran” yang diberikan kepada wanita yang dipinang dikembalikan dua kali lipat jumlahnya kepada pihak laki-laki yang meminang. Demikian juga, dalam jual beli dengan cara pemesanan (inden), pihak pemesan memberi uang muka atau panjar atas barang yang dipesannya.
Al-‘Urf al-Fasidah (‘Urf yang rusak/salah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan ketentuan dan dalil-dalil syara’. sebalik dari al-‘Urf ash-shahihah, maka adat kebiasaan yang salah adalah yang menghalalkan hal-hal yang haram, atau mengharamkan yang halal. Misalnya, kebiasaan berciuman atara laki-laki dan wanita yang bukan mahram dalam acara pertemuan pesta. Demikian juga, adat masyarakat yang mengharamkan perkawinan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram, hanya karena keduanya berasal dari satu komunitas adat yang sama (pada masyarakat adat riau tertentu), atau hanya karena keduanya semarga (pada masyarakat tapanuli, sumatera utara). Sejalan dengan perkembangan zaman dan semakin membaiknya pemahaman terhadap hukum islam pada kedua komunitas tersebut, secara berangsur-angsur adat kebiasaan tersebut telah mereka tinggalkan.
Para ulama sepakat, bahwa al-‘urf al-fasidah tidak bisa menjadi landasan hukum, dan kebiasaan tersebut batal demi hukum. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan pemasyarakatan dan pengamalan hukum islam pada masyarakat, sebaiknya dilakukan dengan cara yang ma’ruf , diupayakan mengubah adat kebiasaan yang bertentangan dengan ketentuan ajaran islam tersebut, dan menggantikannya dengan adat kebiasaan yang sesuai dengan syariat islam. Karena al-‘urf al-‘fasidah berkaitan dengan al-‘urf ash-shahihah.
Syarat-syarat ‘urf yang bisa diterima oleh hukum islam:
1. Tidak ada dalil yang khusus untuk kasus tersebut baik dalam al-Qur’an atau Sunnah.
2.Pemakaian tidak mengakibatkan disampingkannya nash syari’ah termasuk juga tidak mengakibatkan kesulitan dan kesempitan.
3.Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya biasa dilakukan oleh beberapa orang saja.
Pada dasarnya, semua ulama menyepakati kedudukan al-‘urf ash-shahihah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, diantara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi itensitas pengguanaanya sebagai dalil. Dalam hal ini, ulama Hanafiyah dan Malikiyyah adalah yang paling banyak menggunakan al-‘urf sebagi dalil, dibandingkan dengan ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’. Didasarkan atas argumen-argumen berikut ini.
خُذِ الْعَفْوَ وَأَمُرْ بِالعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الجَهِلِيْنَ
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang engerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Melalui ayat diatas Allah swt. memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. sedangkan yang disebut sebagai ma’ruf itu sendiri ialah, yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran islam.
Ucapan sahabat Rasulullah saw; Abdullah bin Mas’ud ra:
فَمَارَاهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَارَاهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيْءًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيْءٌ
“sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah”.
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud ra. di atas, baik dari segi redaksi maupun maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syariat islam, adalah juga merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat, akan melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, dalam hal itu, Allah swt. berfirman pada surat al-Ma’idah (5): 6:
مَا يُرِيْدُاللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ؛ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Apabila kita perhatikan, penggunaan adat ini bukanlah dalil berdiri sendiri, tetapi erat kaitannya dengan al-maslahah al-mursalah. Hanya bedanya kemaslahatan dalam adat ini sudah berlaku sejak lama sampai sekarang. Sedangkan dalam al-maslahah al-mursalah kemaslahatan itu bisa terjadi pada hal-hal yang sudah biasa berlaku dan mungkin pula pada hal-hal yang belum biasa berlaku, bahkan pada hal-hal yang akan diberlakukan.
Secara umum, terdapat empat syarat bagi sebuah tradisi untuk dijadikan pijakan hukum; pertama, tidak bertantangan dengan salah satu nash syariat; kedua, berlaku dan atau diperlakukan secara umum dan konstan; ketiga, tradisi itu sudah terbentuk bersamaan dengan saat pelaksanaanya; keempat, tidak terdapat ucapan atau perbuatan yang berlawanan dengan nilai subtansial yang dikandung oleh tradisi
Atinya:
Adat tidak bertentangan dengan teks syariat, artinya adat tersebut berupa adat shahih sehingga tidak akan menganulir seluruh aspek subtansi nash, sebab bila seluruh isi subtansi nash tidak teranulir, maka tidak dinamakan bertentangan dengan nash. Dengan demikian, unsur-unsur positif adat yang tidak “bertentangan” dengan nash bisa dijadikan pondasi hukum dan dipelihara.
Adat berlaku konstan dan menyeluruh,atau minimal dilakukan kalangan mayoritas bilapun ada yang tidak dikerjakan, maka itu hanya sebagian kecil saja yang tidak begitu dominan. Cara mengukur konstansi adat sepenuhnya diserahkan kepada penilayan masyarakat. Yang dimaksud adat yang konstan adalah adat yang bersifat umum dan tidak berubah-ubah dari waktu kewaktu.
Adat sudah terbentuk bersamaan dengan masa penggunaanya. Hal ini dapat dilihat dalam istilah-istilah yang bisa digunakan dalam transaksi jual beli, wakaf, wasiat. Konstruksi hukum pada ketiga jenis transaksi ini harus disesuaikan dalam istilah yang berlaku saat transaksi itu berlangsung, bukan kebiasaan yang terbentuk kemudian.Tidak terdapat ucapan atau pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai subtansial ada.
No comments:
Post a Comment