Monday, June 6, 2016

Insan kamil

                                                                         



          Insan kamil dalam arti atau pendefinisiannya adalah manusia yang sempurna, yaitu manusia dengan potensi ruhaniyahnya dapat mencapai suatu derajat. Kemulian di sisi Tuhannya. Insan kamil adalah ajaran seseorang tokoh sufi al Jili, yang nama aslinya adalah Abd al Karim Ibrahin al Jili, yang lahir di daerah Gilan pada tahun 1365 M. ia disebutkan pernah belajar pada tokoh terkenal Abd al Jailani, seorang pendiri tarekat al Qairiyah.

         Menurut al Jili, insan kamil adalah copy atau ruskhah Allah, sebagaimana dalam Hadits yang berbunyi : “Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya. Dengan kedudukan sebagai copy Allah, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan dengan perbedaan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat transendental, Maha melihat, Maha Mendengar, Maha Beriman, dan lain-lain, adampu memiliki sifat tersebut dengan keterbatasannya, yeitu melihat, mendengar, berbicara.

         Proses selanjutnya adalah, setelah Allah menciptakan substansi, Huwiyah Tuhan dihadapkan kepada Huwiyah Adam, Aniyah Tuhan dihadapkan kepada Aniyah Adam. Dzat Allah dihadapkan kepada Dzat Adam, dan akhirnya Adam dihadapkan kepada Tuhannya dalam segala hakikatnya. Berdasarkan proses ini Adam dimasukkan sebagai salah satu insan kamil karena memiliki sifat ke-Tuhanan, yang dengannya ia mencapai kesempurnaan.

                                                UPAYA MENCAPAI INSAN KAMIL

           Dalam perspektif tasawuf sunni, seorang akan mencapai predikat insan kamil dengan melakukan serangkaian upaya riyadlah, dan mujahadah untuk mencapai jaln menuju Tuahan, melalui proses sebagai berikut :

           Pertama, takhalli, yaitu upaya mengosongkan diri dari sifat-sifat yang buruk/tercela. Salah satu akhlak adalah yang paling banyak menyebabkan munculnya akhlak jelek lainnya adalah ketergantungan kepada kenikmatan duniawi. Hal ini dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha menyelapkan dorongan hawa nafsu.

              Dalam hal menanamkan rasa benci terhadap kehidupan duniawi serta mematikan hawa nafsu para sufi berbeda pendapat. Sebagian mereka sebagai moderat berpendapat bahwa kebencian terhadap kehidupan duniawi yaitu sekadar tidak melupakan tujuan hidupnya. Namun tidak meninggalkan dunia sama sekali. Demikian juga dengan pematian hawa nafsu itu, yaitu sekedar menguasai manusia secara total melarikan diri dari problema dunia dan tidak pula memerintahkan untuk menghilangkan hawa nafsu. Golongan ini tetap memanfaatkan dunia sekedar kebutuhannya, dengan mengontrol dorongan nafsu.

           Sementara itu, kelompok kaum sufi yang berpandangan ekstrim berkeyakinan bahwa kehidupan duniawi merupakan “racun pembunuh” serta penghalang perjalanan mereka menuju Tuhannya. Karena itu, nafsu yang bersendi duniawi harus “dimatikan” agar manusia bebas berjalan menuju tujuan, yaitu memperoleh kebahagiaan spiritual yang hakiki. Bagi mereka cara memperoleh keridlaan tidak sama dengan cara memperoleh kenikmatan material.

           Kedua, tahalli adalah upaya menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak yang terpuji. Tahapan Tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengkosongkan jiwa dengan akhlak jelek. Pada tahap ini, kaum sufi berusaha agar setiap sikap dan perilaku selalu berjalan dengan ketentuan Allah, baik kewajiban yang bersifat ritual, seperti sholat, puasa dan haji, maupun yang bersifat social seperti menjaga lingkungan, membersihkan lingkungan sekitar dan lain-lain.

          Sikap terpuji yang harus diiliki oleh orang sufi seperti zuhud, tawakkal, sabar, syukur, tawadlu, wara’, malu membuat maksiat dan lain-lain.

          Ketiga, tajalli yaitu terungkapnya nur ghaib. Derajat ini dapat dicapai dengan menanamkan kecintaan yang mendalam kepada sang Khaliq. Cinta yang dimiliki oleh kaum sufi terhadap Tuhannya adalah cinta yang mendalam, tanpa pamrih dan tidak mengharapkan balasan surge karena amalnya. Dengan cinta yang demikian maka akan menghasilkan ma’rifat, yaitu kemampuan “mengetahui atau menyaksikan” kekuasaan dan kemaha Agungan Tuhan.

         Sedangkan dalam perspektif tasawuf falsafi, upaya mencapai insan kamil melalui : al fana’, al baqa’, al ittihad, al hulul, al hallaj, dan wahdatul wujud Ibn Arabia.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *